Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa produksi kayu untuk industri kayu lapis dan olahan di Indonesia telah berubah dari berbasis hutan alam menjadi hutan tanaman industri.
Pada tahun 2013 yang lalu, tercatat produksi kayu olahan mencapai 50 juta meter kubik, sebanyak 80 persen berasal dari Pulau Jawa dan sisanya dari Kalimantan, Sumatera, dan pulau lain.
Kemajuan teknologi hutan industri di Jawa harus ditularkan pada masyarakat di pulau lain, karena sangat bermanfaat seperti mencegah banjir, longsor, dan kekeringan. Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya sangat luas sehingga bila pengembangan hutan tanaman industri (HTI) bisa maksimal maka hasilnya bisa bagus bagi perekonomian dan perlidungan alam.
Aksi tebang di hutan alam terbukti sangat merugikan bagi alam lingkungan. Karena itulah maka perusahaan pengolahan kayu diminta untuk konsisten mengembangkan HTI dengan harapan bisa mengembangkan usaha, menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta melestarikan alam lingkungan.
Salah satu perusahaan yang bergerak di industri perkayuan, PT Darma Satya Nusantara (DSN) yang beroperasi di Surabaya, Gresik, dan Temanggung dengan jumlah tenaga kerja sekitar 6.750 orang, dan khusus di Temanggung sebanyak 1.933 orang.
Di Temanggung, produksi kayu olahan per tahun sekitar 135 ribu meter kubik dengan tujuan ekspor ke Jepang sebanyak 65 persen dan sisanya ke Singapura, China, Korea, dan Amerika. Bahan baku kayu dari warga sekitar dan terlebih dahulu perusahaan memberi bantuan bibit kayu. Di Pulau Jawa, PT DSN telah menyerahkan bantuan sekitar 20 juta bibit kayu.
Di Kalimantan, melalui salah satu unit usaha di sana, DSN telah mengembangkan hutan tanaman industri seluas 2.000 hektare dan dari tahun ke tahun diusahakan untuk ditambah. Diakui jika sulit untuk memberi pemahaman dan budaya menanam kayu seperti di Jawa, namun kini warga lokal telah mulai mau menanam pohon.
Sementara itu, Indonesia berpeluang besar menjadi negara pertama yang bisa mengirimkan kayu berlisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) ke Uni Eropa. Jika demikian, Indonesia akan menikmati keuntungan besar di pasar global, baik di Uni Eropa, maupun negara-negara yang lain, seperti Australia, yang sudah mengikuti model FLEGT dari Uni Eropa.
Sekitar 10 tahun lalu ada persoalan serius yang dihadapi di mana Uni Eropa masih mengimpor banyak kayu ilegal, salah satunya berasal dari Indonesia, yang pada saat itu banyak mengekspor kayu ilegal. Namun kedua belah pihak menyadari situasi ini dan bersama-sama mencoba mengatasinya.
Uni Eropa merespons tuntutan publik akan pentingnya keberlanjutan dan legalitas melalui Rencana Aksi FLEGT dan juga European Union Timber Regulation (EUTR), yang mengatur agar hanya kayu hasil penebangan legal yang bisa diimpor ke pasar Uni Eropa.
Sedangkan pemerintah Indonesia memiliki visi dalam merespons masalah legalitas kayu untuk pasar Uni Eropa dan lainnya, dengan kepemimpinannya mengarahkan ke proses multistakeholder, sehingga Indonesia menjadi ujung tombak dalam upaya memerangi pembalakan liar melalui sistem legalitas yang berkelas dunia.
Verifikasi legalitas dicanangkan sebagai jawaban atas permintaan Indonesia agar negara-negara pengimpor kayu tidak membeli kayu ilegal dari Indonesia.
Kegiatan dimulai melalui proses multistakeholder sejak 2001 yang kemudian melahirkan draft pertama standar legalitas pada tahun 2005 yang difasilitasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
SVLK merupakan suatu langkah verifikasi independen yang telah di diatur dengan Permenhut 38/2009, dan terakhir direvisi P.42/Menhut-II/2013.
Kerja sama dengan WWF Indonesia dan berbagai lembaga lain memberikan fasilitas kepada UKM untuk mendapatkan SVLK yang bersifat wajib itu. Program Asmindo terkait SVLK adalah terlibat dalam tim perumusan dan penyepurnaan terkait SVLK, bersama Kemenhut, Kemenperin, Kemendag, dan lainnya.