JAKARTA -- Berdasarkan data terakhir dari Kementerian Perindustrian RI, nilai ekspor furniture kayu pada 2013 tercatat senilai 1,26 miliar dolar AS. Sedangkan untuk olahan rotan mencapai 188 juta dolar AS. "Targetnya lima tahun ke depan bisa sampai 5 miliar dolar AS," kata Menteri Perindustrian RI MS Hidayat Selasa (11/3), saat pembukaan acara Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2014 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta.
Target tersebut bisa tercapai dengan bahan baku yang berkualitas di Indonesia. Banyak sekali bahan baku spesifik yang menjadi potensi di dalam negeri. Seperti kayu mahoni, jati, hingga rotan yang hanya terdapat di hutan Indonesia. Hal ini menjadi selling poin tinggi untuk bersaing dengan negara lain. Apabila negara lain berkesempatan menggunakan bahan baku ini untuk meraih nilai jual tinggi, Indonesia juga harus melakukan hal yang sama.
Hidayat mengatakan, pemerintah menyatakan SVLK merupakan suatu hal yang bagus. Tetapi persyaratan ini masih menjadi masalah bagi pengusaha kecil. Pemerintah sudah menanggung selama satu tahun ini. Namun dari pihak Asosiasi meminta lebih dari satu tahun. Pemerintah akan pertimbangkan hal tersebut. Selama satu tahun pembiayaan SVLK dianggarkan pada negara.
Pemerintah berjanji terhadap hal yang menjadi masalah dalam kompetitif produk mebel. Selama ini permasalahan kompetitif berasal dari biaya transportasi dari tempat bahan baku ke tempat produksi. Saat ini biaya yang dikeluarkan masih cukup mahal. Hal ini yang akan diperangi pemerintah. "Kami menjanjikan hal ini," kata Hidayat.
Indonesia memiliki potensi besar dalam industri olahan rotan dan kayu. "Hampir 90 persen rotan dan kayu dunia berasal dari Indonesia," kata Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Soenoto. Kepulauan Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke terdapat kayu dan rotan. Sebuah potensi yang sia-sia apabila tak dimanfaatkan.
Soenoto mengatakan, Indonesia harus terus mengeksplorasi pulau-pulau dari segi bahan baku. Sebab dari segi bahan baku negara ini tidak kesulitan. Pulau virgin seperti Irian, Enggano, Ambon, Aceh, hingga Nusa Tenggara Barat bisa terus digali dalam memperoleh bahan baku. Selain itu fungsi expo seperti ini juga penting untuk berkiprah dalam ranah internasional.
Dalam empat tahun ini, nilai ekspor mebel meningkat sebesar 5 miliar dolar AS. Meski meningkat, permasalahan terletak pada penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Dari sekitar 5 ribu eksportir, hanya 600 sampai 700 saja yang memiliki SVLK. Persyaratan tersebut masih menjadi kendala bagi pengusaha karena banyak yang belum siap meski sudah ditangguhkan selama satu tahun. Apabila dikalkulasikan, angkanya tidak begitu besar. Sekitar 100 miliar rupiah untuk membiaya SVLK ini bagi UKM.
Pengusaha kecil keberatan karena biaya yang cukup mahal dalam sistem tersebut. Saat ini dalam memperoleh SVLK biaya yang dikeluarkan sekitar 20 hingga 50 juta rupiah. Apabila pemerintah memang menyatakan SVLK bagus, kemudahan akses setidaknya bisa diberikan. "Saya minta ke pemerintah UKM bisa dibiayai dalam memperoleh SVLK," kata Soenoto. Pemerintah memang sudah memberikan tenggang waktu selama setahun.
Berbicara mengenai furniture berarti membicarakan persaingan. Saat ini di wilayah ASEAN masih dijuarai Vietnam dan Cina. Nilai ekspor Vietnam dalam furniture mencapai 5 miliar dolar AS pada 2013 lalu. Sedangkan Indonesia masih setengahnya. Padahal Vietnam hanyalah negara kecil. "Rasanya target kita lima tahun ke depan sudah bisa menyalip Vietnam," kata Soenoto. Di dalam negeri Pulau Jawa masih menjadi produsen furniture terbesar. Untuk kelas dunia masih dikuasai Eropa, Amerika dan Amerika Latin, Jepang, dan Afrika.
Sumber: Republika.co.id