JAKARTA - Total investasi industri hilir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 3 miliar (Rp 28,71 triliun) pada 2012-2014. Program hilirisasi dan penerapan bea keluar (BK) CPO semakin menarik minat investor baru masuk ke Tanah Air.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Benny Wachyudi menjelaskan, tahun 2012, investasi hilir pengolahan berbasis CPO minimal mencapai US$ 800 juta. Selanjutnya, pada 2013-2014, investasinya bisa bertambah lagi US$ 2,2 miliar. "Pemain baru banyak yang masuk, selain ekspansi oleh perusahaan eksisting," kata Benny di Jakarta, Selasa (11/9).
Salah satunya yang sedang investasi, Grup Wilmar akan menggelontorkan dana US$ 500 juta secara bertahap. Wilmar investasi US$ 70-80 juta (Rp 640-731 miliar) di Gresik, Jawa Timur, untuk membangun pabrik bahan bakar pesawat terbang (jet fuel). Perusahaan ini juga akan membangun pabrik tepung (flour mills) terigu berkapasitas 345 ribu ton per tahun di lokasi yang sama. Kebutuhan investasi pabrik berbahan baku CPO tersebut berkisar US$ 30-40 juta (Rp 274-365 miliar).
Menurut Benny, penerapan BK CPO 0-22,5% secara agresif atas ekspor CPO telah terbukti mendorong pengembangan industri hilirnya. Kebijakan tersebut merupakan disinsentif untuk mengontrol ekspor CPO dan mengolahnya di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi lebih tinggi.
Saat ini, industri di Indonesia sudah mampu memproduksi sekitar 74 produk turunan berbasis CPO, antara lain sudah mampu dilakukan oleh Musim Mas. 'Tahun 2020, kami menargetkan sudah bisa memproduksi 150-an produk turunan CPO. Menuju ke situ, kami bertahap 100 produk dulu, lalu 120 jenis produk turunan, dan seterusnya," katanya.
Pada dasarnya, pengolahan kelapa sawit merupakan suatu proses terhadap tandan buah segar (TBS) menjadi CPO yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) yang jernih. CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin).
industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). CPO juga dapat diolah menjadi bahan kimia, seperti metil ester, asam lemak (fatty acid), dan gliserin (glycerine).
Di Indonesia, turunan produk CPO banyak digunakan industri pangan antara lain berupa minyak goreng, margarin, shortening, dan vegetable ghee. Turunan produk CPO pada industri oleokimia, antara lain berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, serta biodiesel.
Di sisi lain, lanjut dia, penelitian dan pengembangan (research and devel-opment/R&D) CPO di dalam negeri belum berkembang bersifat komersial. Hal tersebut cukup ironis karena Indonesia menjadi produsen CPO nomor satu di dunia.
"Karena itu, dalam waktu dekat, saya akan mengumpulkan para peneliti. Kami akan membahas secara intens, bagaimana pengembangan R&D berbasis CPO di dalam negeri agar maju," ujar Benny.
Upaya mendorong pendirian R&D CPO .di Tanah Air diharapkan bisa mendapat dukungan yang baik dari semua pihak, termasuk mewujudkan pusat penelitian CPO di kawasan industri Sei Mangkei, Simalungun, Sumater Utara. "Tantangannya memang banyak. Tapi, itu kebanyakan karena kita yang buat," katanya.
Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami meyakini, ekspor produk hasil hilirisasi CPO akan memiliki prospek lebih baik. Dia mencontohkan, Malaysia yang telah berhasil mengembangkan sekitar 100 produk hilir CPO.
Sementara itu, ekspor produk sawit Indonesia 60-70% masih berupa CPO, sedangkan produk hilirnya hanya 30-40%. "Jenis produk yang diekspor dari hasil hilirisasi tersebut sangat banyak seperti sabun, minyak goreng, atau pun produk-produk lain," jelas dia.
Produksi CPO
Benny melanjutkan, kebijakan yang tidak harmonis pada industri CPO di Tanah Air telah menimbulkan urusan birokrasi bertentangan. Kondisi tersebut pun bisa dimanfaatkan untuk kampanye negatif atas CPO Indonesia, antara lain masalah pembebasan lahan. "Kalau urusan lahannya tidak diselesaikan dengan jelas, nanti dianggap tidak ramah lingkungan," ucapnya.
Namun, Indonesia cukup beruntung karena produktivitas oleh perusahaan CPO nasional sudah bisa mencapai 7-8 ton per hektare (ha). Sedangkan petani baru bisa menghasilkan 3,5 ton per ha, sehingga perlu dukungan dari pemerintah, termasuk meremajakan kebun yang sudah tua.
Indonesia mulai fokus mengarahkan penguatan industri hilir berbasis CPO guna mendorong keunggulan kompetitif. Dengan memacu industri hilirnya, produksi CPO dan crude PKO nasional diperkirakan mencapai 40 juta ton pada 2020, dan hanya 12 juta ton yang diekspor. Tahun 2012, produksi CPO dan CPKO nasional diperkirakan 27-28 juta ton, dengan porsi ekspor 8,12 juta ton.
"Tahun 2011, produksi CPO kita tercatat 25,5 juta ton dan diekspor sekitar 9,53 juta ton. Tahun 2010, produksi tercatat 22 juta ton dan diekspor 10,78 juta ton," ungkap Benny.
Sumber : Investor Daily